MAX WEBER : CONTOH KASUS SEDERHANA DARI TEORI OTORITAS DAN ETIKA PROTESTAN
MAX WEBER : CONTOH KASUS SEDERHANA DARI TEORI
OTORITAS DAN ETIKA PROTESTAN
Oleh
: Dinda Galih Purwaningrum
A. Pendahuluan
Maximilian
Weber lahir tanggal 21 April 1864 di Erfurt Jerman dan meninggal di Munchen
Jerman 14 Juni 1920 pada umur 56 tahun. Ia seorang sosiolog yang mengembangkan
teori otoritas dan etika protestan. Ia juga dari golongan kelas menengah
keatas. Ia pernah menempuh pendidikan di Universitas Heidelberg. Karir
akademik Weber semakin meningkat ketika ia diangkat sebagai Professor Ekonomi
di Universitas Freiburg tahun 1984. Karya monumentalnya yang dijadikan sebagai
referensi kajian ilmu pengetahuan sosial modern ialah “Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme”.
Weber
juga membahas mengenai teori otoritas yang menurutnya terdapat tiga tipe
otoritas di dalam masyarakat. Pertama, otoritas legal (Legal-Rational Authority) yaitu otoritas
yang bersumber dari legalitas atau suatu peraturan tertentu. Kedua,
otoritas tradisional (Traditional Authority), yang otoritas yang
keabsahannya bertumpu pada adat istiadat. Ketiga,
otoritas karismatik (Charismatic Authority) yaitu otoritas yang
keabsahannya bersumber dari karisma atau kualitas istimewa yang dimiliki oleh
seseorang yang diakui oleh orang lain.
Sedangkan
Weber berpendapat tentang etika protestan bahwa aspek-aspek tertentu yang ada
dalam etika protestan merupakan pemicu yang kuat dalam meningkatkan pertumbuh
sistem ekonomi kapitalis saat awal pembentukannya. Lalu menurutnya pengaruh
yang “memicu” ini merupakan konsitensi logis yang sifatnya mendukung bukan
sebab akibat. Lebih disayangkan lagi ketika kapitalisme berdiri malah justru
menjadi sekuler dan berubah jauh meninggalkan nilai-nilai keprotestanannya.
Selebihnya akan dipaparkan berikut ini.
B. Teori Otoritas
Sebelum membahas
tentang teori otoritas menurut Weber, perlu diketahui terlebih dahulu tentang
otoritas sendiri itu apa. Menurut KBBI (Kamus
Besar Bahasa Indonesia) Otoritas (oto·ri·tas)
yaitu kekuasaan yang sah yang diberikan kepada lembaga dalam masyarakat yang
memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya. Jadi bisa disimpulkan bahwa
otoritas merupakan bagian dari suatu relasi kekuasaan sekaligus mengandung
unsur perintah dan unsur kontrol.
Weber memulai
analisisnya atas struktur-struktur otoritas dalam suatu cara yang konsisten
dengan asumsi-asumsinya tentang hakikat tindakan. Dia mendefinisikan dominasi sebagai “probabilitas bahwa
perintah-perintah spesifik (atau semua perintah) akan dipatuhi oleh sekelompok
orang tertentu” (Weber, 1921/1968: 212).
Menurut ia dominasi itu memiliki
macam-macam jenis dari yang sah dan juga yang tidak sah. Tapi yang menarik
bagianya yaitu bentuk dominasi yang sah atau yang ia sebut “Otoritas”. Dari situ
yang membuat ia tertarik mengenai tiga basis yang melandasi pengesahan otoritas
yaitu rasional, tradisional, dan karismatik. Namun didalam pemikirannya ini ia
benar-benar merubah cara berpikirnya yang individual. Seperti yang akan dilihat
berikut.
1.Otoritas
Legal- Rasional (Legal-Rational Authority)
Menurut Weber
walaupun ada diskusinya mengenai sifat positif birokrasi dimana-mana namun, ada
dua garis yang berbeda kebenarannya dalam sikap terhadap demokrasi. Menurutnya
gambaran keuntungan birokrasi tergantung dari cara kerja birokrasi tersebut.
Birokrasi yang tipikal-ideal adalah suatu peluasan mengenai sifat rasional
birokrasi. Bermanfaat dalam maksud penemuan dan mempelajari organisasi di dunia
nyata, tetapi jangan disalah pahami sebagai penggambaran birokrasi yang
sebenarnya. Weber memebedakan birokrasi yang tipikal ideal dari birokrat yang
tipikal ideal. Dimana birokrasi sebagai struktur dan birokrat sebagai posisi
yang ada dalam struktur tersebut. Birokrasi tipikal ideal adalah suatu tipe
organisasi. Tersusun atas jabatan yang tersusun secara hierarki, terdapat
aturan, fungsi, dokumen tertulis, dan alat produksi.
Adakah
alternatif lain? Birokrasi adalah salah satu yang memainkan peran
penting di dalam masyarakat modern. Jadi, jawaban Weber ialah tidak ada
alternatif lain. Mungkinkah menciptakan suatu masyarakat sosialis tanpa birokrasi dan
para birokrat? Sekali lagi, Weber menjawab dengan tegas tidak. Dalam
pandangan Weber para sosialis hanya memperburuk keadaan dengan memperluas
birikrasi di masyarakat. “yang ada di hadapan kita bukanlah mekarnya musim
panas, tetapi malam kutub dengan kegelapan dan kesukaran akibat es, tidak soal
kelompok mana yang sekrang menang secara eksternal” (dikutip didapam Gerth dan
Mills, 1958: 128).
Contoh
kasusnya yaitu dalam sebuah segara pasti ada seseorang yang memimpin baik itu
presiden, perdana mentri, atau raja dan ratu. Seorang pemimpin yang sah menurut
aturan yang berlaku di dalam negara tersebut. Seperti di Indonesia saat ini
dipimpin oleh Jokowi sebagai seorang presiden, Yusuf Kala sebagai wakil
presiden, dan mentri-mentri dibawahnya hingga paling rendah di daerah. Semua
itu sudah di atur dalam peraturan negara yaitu UUD 1945.
Jadi
kesimpulannya, Otoritas legal merupakan pemberian wewenang atau otoritas yang bersumber
dari hukum atau peraturan perundang-undangan. Model otoritas ini cenderung
mengutamakan birokrasi (politik dan ekonomi). Model kepemimpinan semacam ini
biasanya diterapkan di negara-negara modern atau di kota-kota, badan hukum baik
miliki pribadi atau serikat. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan dalam
struktur birokrasi tersebut dipimpinan oleh seseorang yang memiliki karismatik
sehingga hasil atau capaian cukup berbeda dan fleksibel.
2.
Otorotas Tradisional (Traditional Authority)
Otoritas tradisional didasarkan pada
suatu hal yang diajukan para pmimpin, dan suatu kepercayaan para pengikut,
bahwa ada kekuatan suci tentang aturan dan kekuasaan jaman dahulu. Kesetiaaan
kepada aturan yang ditetapkan pemimpin dan para staf yang juga patuh pada
pemimpin karena pemimpin membawa tradisi yang telah di pilih dan sepakati untuk
menduduki posisi tersebut dengan cara yang tradisional.
Weber juga menggunakan tipe ideal
untuk menganalisis bentuk histori otoritas tradisional. Otoritas tradisional
yang awal yaitu gerontokrasi
(kekuasaan yang dijalankan oleh ketua) dan pariarkalisme
primer (para pemimpin yang mewarisi
posisi mereka). Kedua bentuk tersebut masih memiliki seorang pemimpin tertinggi
namun kekurangan staf administrasi. Bentuk yang lebih modernnya adalah patrimonialisme dan feodalisme.
Weber melihat setiap bentuk struktur
otoritas tradisional sebagai penghalang perkembangan rasional. Dalam kasus
spesifik, ia beranggapan bahwa struktur dan praktik otoritas tradisional
merupakan penghalang struktur ekonomi rasional terutama kapitalisme dan
masyarakat rasional.
Contoh kasusnya yaitu di Inggris
seorang pemimpin di negara ini adalah seorang Ratu Elisaberth dari turun
temurun sampai saat ini. Pemimpin dari negara ini harus keturunan kerajaan
tidak bisa diambil alih oleh masyarakat biasa karena memang sudah tradisi dan
diyakini dari turun temurun. Tidak usah jauh-jauh bahkan di negeri ini sendiri,
di salah satu kota yang cukup terkenal di Indonesia juga seperti itu.
Yogyakarta yang di sebut sebagai Daerah Istimewa ini memang memiliki
keistimewaan sendiri. Kota ini memiliki pemimpin daerah atau sering disebut
gubernur sendiri. Gubernur disini sudah pasti keturunan dari keraton jogja
sebab mereka sudah meyakini dan memiliki tradisi kepercayaan sendiri.
Jadi kesimpulannya, Otoritas
tradisional merupakan otoritas yang memiliki keabsahan berdasarkan kesucian
suatu tradisi tertentu yang hidup di tengah masyarakat. Sehingga ketika
seseorang taat dan patuh terhadap suatu peraturan atau pada suatu struktur otoritas
disebabkan karena kepercayaan mereka terhadap sesuatu yang bersifat kembali. Hubungan yang terjalin antara tokoh yang memiliki otoritas dan
bawahan sejatinya merupakan hubungan pribadi yang cenderung mengarah sebagai
bentuk perpanjangan hubungan kekeluargaan. Adanya kesadaran yang penuh antara
pemimpin untuk melaksanakan kewajibannya dan bawahan sebagai bentuk kesetiaan
dan kecintaan kepada pemimpinan.
3. Otoritas Karismatik (Charismatic Authority)
Mengenai karismatik disini sangat
berbeda yang dipahami oleh kebanyakan orang. Menurut Weber karismatik disini
layaknya suatu kelompok atau pengikut mereka mendefinisikan pemimpinnya. Sementara karisma adalah suatu kekuatan
doktrin internal yang mengubah pikiran aktor tersebut. Weber melihat secara
umum kekuatan doktrin eksternal mula-mula mengubah struktur, lalu pikiran, dan
tindakan para individu.
Perbedaan otoritas karisatik dengan
ideal yaitu staf pemimpinnya kurang dari segala aspek, staf tidak terlatih,
dipilih karena kualitas karismatik, jabatannya atau hierarkinya jelas, bukan
karier, tidak ada kenaikan jabatan, tidak ada aturan formal, dan tidak ada
administrasi yang ditetapkan.
Sistem ini sangat rapuh, sebab saat
pemimpinnya sudah mati otoritas karismatiknya akan hiang. Oleh karena itu , ini
menjadi tantangan bagi staf untuk mencari pemimpin saat keadaan sudah tak murni
karena pemimpin wafat. Bagi Weber karisma itu tak stabil karena ada saat
pemimpin itu masih hidup jika pemimpin wafat akan goyah. Dalam jangka panjang
karisma tidak dapat diteruskan terus sebagai karisma, karisma harus berubah
menjadi otoritas tradisional atau legal-rasional (atau karisma yang
dilembagai).
Contoh kasusnya yaitu seperti saat
melaksanakan tutor Teori Sosiologi Klasik akan dipilih seorang mentor yang
menjadi seorang pemimpin dalam diskusi terebut. Mentor tersebut bukan sembarang
mahasiswa yang bisa daftar. Mentor tersebut pasti sudah memiliki ciri-ciri
tersendiri yang sesuai dengan kriteria yang sudah di tetapkan dosen seperti
memiliki kemampuan yang lebih tentang mata kuliah tersebut, memiliki jiwa
pemimpin dalam kelompok yang bagus, dan lain sebagainya.
Jadi kesimpulannya, Istilah kharisma digambarkan secara sosiologis oleh Weber yaitu
sebagai suatu pengakuan oleh para pengikut seorang pemimpin (leader)
akan keistimewaannya. Weber kemudian memahami bahwa yang dimaksud dengan
otoritas kharismatik sebagai tipe kepemimpinan yang keabsahannya diakui oleh
kualitas, keistimewaan, keunggulan. Selain itu, otoritas kharismatik ditemukan
pada pemimpin yang mempunyai visi dan misi yang dapat mengispirasi orang.
C. Etika Protestan
Pada
buku etika protestan dan semangat kapitalisme Weber melihat suatu gejala
sosial, kapitalisme yang kemudian berhubungan erat dengan agama yang dipeluk
masyarakat eropa saat itu. Agama Katolik yang umumnya merupakan agama yang
menguasai benua Eropa dalam jumlah yang cukup besar bila dibandingkan dengan
Protestan yang pada abad 16 baru mendapatkan legitimasi di dunia Eropa, malah
cenderung kalah dalam persaingan perdagangan atau industri. Hal ini cukup
menggelitik Weber yang saat itu telah menjadi seorang pengamat dunia sosial.
Kemudian ia mengadakan penelitian komparatif mengenai fenomena sosial ini.
Pada
masyarakat yang memeluk agama Protestan, ditemukan sebuah fakta bahwa industri
Eropa pada saat itu, seperti di Jerman dan Belanda, banyak dikuasai bahkan
hampir dimonopoli oleh kalangan Protestan. Kebanyakan masyarakat yang memeluk
agama protestan memenuhi sektor-sektor pekerjaan industrial yang berbasiskan
kapitalisme. Keuntungan ekonomi juga dirasakan penuh menjadi monopoli kaum
Protestan, sedangkan kaum Katolik hanya mengambil bagian kecil.
Weber
melihat suatu hubungan erat antara etika agama dengan semangat menguasai uang
yang terjadi di Eropa pada saat itu. Ia melihat semangat modernisme pada
masyarakat Protestan yang kemudian beraplikasi pada semangat berdagang dan
menguasai pasar di Eropa. Hal ini bertolak belakang dengan masyarakat Katolik
yang masih terkungkung dalam hegemoni gereja serta kerajaan. Disini Weber
melihat suatu monopoli yang dilakukan oleh para pembesar Katolik dalam hal
penguasaan lahan ekonomi secara langsung berpengaruh pada kemandegan masyarakat
yang memeluk agama Katolik dalam hal kemajuan ekonomi serta kesejahteraan
hidup. Mereka cenderung statis dan hanya berorientasi pada ranah surgawi, yakni
berkonsetrasi pada peribadatan yang mereka yakini akan mengakhiri derita kemiskinan
di dunia yang kemudian Tuhan ganti dengan kenikmatin dan kekayaan kekal di
dalam pangkuan-Nya di surga. Monopoli aktivitas perekonomian oleh Gereja
Katolik yang kemudian membagi keuntungannya dengan pihak kerajaan, membuat
kemiskinan tak terhindarkan di kalangan masyarakat Katolik pada saat itu. Malah
memiskinkan Katolik dengan selimut dogma bahwa ibadah adalah jalan untuk meraih
kebahagiaan di surga dan mempercepat penderitaan mereka di dunia. Oleh karena
itu, semangat untuk memperoleh kekayaan yang sebanyak-banyaknya untuk meraih
kebahagiaan yang nyata di dunia, diwujudkan dengan penuhnya sektor-sektor
industri di negara Jerman dan Belanda oleh mayoritas beragama Protestan.
Sekulerisme dalam berbisnispun membuat umat nyaman dalam menjalankan bisnisnya
tanpa harus khawatir akan dimonopoli oleh pihak gereja.
Sekulerisme
dari paham protestan dan rasionalitas mereka mengenai kebahagian dunia
menyuburkan kapitalisme di kalangan Protestan. Keadaan ini dilihat oleh kaum
Katolik sebagai sekulerisme yang menjadi Bid’ah dalam kehidupan beragama. Kaum
protestan tidak menanggapi serius pandangan kaum Katolik mengenai apa yang
disebut dengan Bid’ah dalam kehidupan ekonomi mereka. Mereka malah cenderung
melihat hal tersebut yang menyebabkan umat Katolik tidak pernah meraih
kesejahteraannya, oleh karena telah dimonopoli oleh pihak gereja serta
kerajaan. Ini yang kemudian menjadi suatu titik dimana umat Protestan telah
berhasil lepas dari dogma sempit dari kaum gereja Katolik yang berusaha
memonopoli kehidupan ekonomi, bahkan politik dan juga ilmu pengetahuan.
Kemajuan pesat mereka kemudian berhasil menjalankan roda-roda perekonomian
(kapitalisme) pada pasar industri Eropa pada masa itu. Weber menyimpulkan
gelaja ini terjadi oleh karena merdekanya umat Protestan dari belenggu gereja
Katolik yang sebelumnya mengatur mereka dalam hal ekonomi dan kesejahteraan
hidup.
Contoh
kasusnya yaitu perbedaan-perbedaan sikap terhadap kehidupan ekonomi dengan
cara:
Orang-orang
katolik biasanya lebih tenang,mempunyai keinginan yang lebih kecil untuk
memperoleh sesuatu; mereka lebih menyukai kehidupan dengan kenyamanan yang
terjamin walau hanya dengan mendapat penghasilan yang lebih kecil dari pada
memilih kehidupan yang dipenuhi resiko dan kesenangan walau jenis pekerjaan itu
memberi mereka banyak kesempatan untuk mendapatkan kehormatan an kekayaan. Ada
sebuah ungkapan yang mengatakan, “ memilih makan enak atau tidur enak” dalam
kasu ini orang-orang protestan lebih suka makan enak, sedangkan orang-orang
katolik lebih suka tidur tanpa terusik”.
Dari
uraian diatas kita akan mendapatkan gambaran karakteristik orang-orang katolik
di Jerman Utara, dimana kekatolikan sebagai sesuatu yang vital sebagai agama
jika dibandingkan dengan bangsa lain. Orang-orang katolik di Perancis
dilapiskan kelas-kelas bawah paling tertarik pada kenikmatan hidup. Hal yang
hampir sama terjadi pada orang-orang protestan di Jerman yang terserap dalam
kehidupan ekonomi yang bersifat duniawi, dan kelompok kelas atas dari
orang-orang protestan itu sangat tidak mempedulikan agama. Sehingg dari sini
bisa ditarik garis kesamaan bahwa keduniawian dinyatakan dalam kekatolikan dan
nimat hidup materialis di nyatakan orang-orang protestan.
Jadi
kesimpulannya adalah, di dalam etika protestan terdapat
aspek-aspek tertentu yang merupakan pemicu yang kuat dalam meningkatkan
pertumbuh sistem ekonomi kapitalis saat awal pembentukannya. Seperti hidup
sederhana dan hidup hemat inilah yang menurut Weber memicu kapitalisme karena
hasilnya tidak di konsumsi sendiri melainkan diinvestasikan dan berpotensi
untuk memperoleh keuntungan yang besar.
DAFTAR
PUSTAKA
Ritzer,
George. 2012. Teori Sosiologi : Dari
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Edisi ke VIII. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Suka artikelnya ☺
ReplyDeleteContohnya kurang banyak
ReplyDelete